
inNalar.com – Penasaran dengan sebuah kampung unik di Jawa Tengah yang pantang nanggap sinden? Ternyata lokasinya sekitar 52,8 KM dari Solo, loh.
Ini unik sekali sih, pasalnya sinden atau penyanyi perempuan biasanya kan mengiringi orkestra gamelan dalam acara wayang, termasuk di Jawa Tengah. Loh, kok bisa ya ini?
Bahkan saking ketatnya, warga maupun pengunjung kampung ini tidak hanya dilarang nanggap sinden, tetapi juga harus steril dari suara-suara nyinden, baik dari radio, televisi ataupun yang lainnya.
Baca Juga: Uang Kuno Pecahan Rp 20 Ribu Indonesia Ini Sempat Bikin Heboh India, Kenapa?
Sekitar 1 jam jika ditempuh dari Solo, Kampung unik ini berada di Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah.
Nah, percaya ataupun tidak, sebaiknya hati-hati saja ya. Konon, jika pantangan ini dilanggar akan ada musibah yang datang, baik itu secara langsung, maupun setelah beberapa waktu tertentu.
Lantas, apa ya alasan Kampung Singomodo mempunyai aturan untuk tidak mengundang dan mendengarkan suara-suara sinden di tempat mereka?
Baca Juga: Harganya Bisa Belasan Kali Lipat, Inilah Ciri Uang Cantik Seri Solid Satu Pecahan 10 Ribu Rupiah
Untuk mengetahui jawabannya. Yuk, simak informasi lebih lanjut dalam artikel ini secara mendalam, yang dirangkum dari berbagai sumber.
Bukan tanpa alasan, loh! pantangan unik ini ternyata ada sejarahnya, yang kerap kali disebut oleh masyarakat setempat dengan istilah “pamali“.
Menurut warga Jawa Tengah di sana, dulu datang seorang ulama yang namanya Syekh Nasher bersama lima pengikutnya dan menetap dalam waktu yang lama di kampung tersebut.
Baca Juga: Indonesia Pernah Cetak Uang Darurat? Bentuk Koin Kuno Ini Paling Unik Sepanjang Sejarah
Namanya di kalangan masyarakat lebih populer dengan panggilan “Eyang Singomodo” dan posisinya sangat berpengaruh juga dihormati di sana.
Nah, sejarah larangan sinden ini bermula pada saat Eyang Singomodo membangun rumah, ia meminta bantuan para pengikutnya sebagai tukang.
Alih-alih membantunya, salah satu pengikutnya ini malah ketahuan menonton acara sinden di kampung tersebut.
Karena sang ulama itu marah dan mungkin memiliki stigma terhadap acara itu, ia menyuruh pengikutnya untuk menikahi sinden dan meninggalkan tempat tersebut.
Eyang juga berpesan agar warga tidak boleh nanggap sinden, sejak saat itulah masyarakat percaya bahwa sinden mendatangkan malapetaka.
Seiring berjalannya waktu, konon beberapa masyarakat yang menanggap, mendengarkan atau pun jenis pelanggaran lainnya yang berkaitan dengan sinden, merasakan akibatnya.
Di antaranya yaitu ada Mbah Suro, ia nanggap sinden ke rumahnya dan setelah acaranya selesai, tetiba kejatuhan pohon kelapa hingga meninggal dunia.
Hal serupa juga dirasakan Mbah Mangun, Namun, akibatnya, dia sakit dan hilang ingatan. Kemudian pulih kembali setelah meminta maaf ke makam Syekh Nasher.
Baca Juga: Generasi 80-an Ingat Duit Jadul Ini? Berikut Ciri Ciri Uang Kuno Kertas 10 Ribu Rupiah Keluaran 1979
Versi lainnya juga dialami oleh seorang supir travel, yang mengantar jemaah ziarah ke makam Eyang Singomodo, ia menunggu di mobil sambil menyetel sinden karena ketidaktahuannya.
Selama berada di tempat memang tidak terjadi apapun, tetapi dalam perjalanan pulang, sang supir dapet musibah berawal dari keempat bannya tetiba kempes.
Jadi, gimana nih, percaya gak? soal percaya atau pun tidak, tentunya ini lebih berkaitan dengan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat.
Namun hal yang menariknya yaitu terlihat dalam penelitian Verawati (2023), ia menuturkan bahwa meskipun larangan tersebut selanjutnya dihubung-hubungkan dengan mitos, ini ada kaitannya dengan ajaran Islam.
Yakni, berkaitan dengan menghindari kemadharatan yang biasanya timbul dalam acara yang menggunakan sinden, seperti halnya mabuk, perjudian hingga pergaulan bebas.
Namun di sisi lain, mayoritas masyarakat di sana menjadi tidak betah tinggal di Kampung Singomodo. Bahkan, beberapa memilih pindah.
Melansir dari YouTube OTOYO Network, pada Jumat (20/12), jumlah penduduk Kampung Singomodo menyusut dari tahun ketahun.
Yaitu, pada awalnya berjumlah 44 KK (Kepala Keluarga) dan hingga kini, hanya tersisa sekitar 7 KK saja yang masih bertahan.
Keadaan kampung pun menjadi sepi. Bahkan, rumah-rumah yang kosong dan keadaannya sudah tidak layak, dirobohkan. Sehingga banyak lahan kosong dan pondasi batu.
Selain anti sinden, setelah wafatnya sang ulama terkemuka di sana, ternyata daerah ini juga terkenal sakral dengan keberadaan makam Syekh Nasher yang sering diziarahi.
Konon, masuk ke dalamnya pun harus berwudhu terlebih dahulu, loh! jika tidak, maka akan mendapatkan malapeta juga.
Tentunya, terlepas dari percaya atau tidak, beberapa masyarakat setempat masih meyakininya, sehingga menjadi bagian tradisi yang mesti dihormati.
Demikian itulah informasi mengenai Kampung Singomodo di Jawa Tengah dengan tradisi uniknya yang pantang nanggap sinden.***