31% Gen Z Pilih Tinggalkan Kuliah Berdasar Survei Deloitte 2025, Alasannya Mengejutkan!

inNalar.com – Dulu, kuliah adalah tangga emas menuju masa depan. Kini, bagi sepertiga Gen Z, tangga itu tampak lebih mirip jebakan bertingkat; mahal, panjang, dan seringkali berakhir di ruang tunggu pengangguran.

Survei Deloitte Global 2025 mengungkap bahwa hampir sepertiga atau 31% Generasi Z (Gen Z) memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi. Alasan utama yang paling banyak dikemukakan adalah tingginya biaya kuliah, yang notabene-nya mencapai 39%.

Selain itu, Gen Z juga menunjukkan sikap skeptis terhadap kemampuan perguruan tinggi dalam memberikan pengalaman praktis yang memadai untuk memasuki dunia kerja.

Baca Juga: Nama Disebut Saat Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Budi Arie Setiadi Bantah Cawe-Cawe Lindungi Situs Judi Online

Sebagai gantinya, mereka memilih jalur alternatif seperti mengikuti kelas pelatihan, magang, dan program on-the-job training (OJT) yang dianggap lebih murah dan berbasis keterampilan praktis.

Latar belakang responden juga sangat beragam; mulai dari eksekutif perusahaan multinasional, pekerja ekonomi pertunjukan, hingga pelaku UMKM dengan tingkatt pendidikan yang juga bervariasi. 

Metode survei yang dipakai cukup bermacam-macam, lho! Dimulai dari pertanyaan terbuka yang memberi ruang jawaban leluasa, wawancara tatap muka dengan sentuhan kualitatif selama hampir sebulan penuh; tepatnya antara 19 Desember 2024 hingga 10 Januari 2025.

Baca Juga: 12 Mata Pelajaran Paling Disesali Gegara Tidak Diajarkan di Sekolah, Salah Satunya Manajemen Stres

Bagi mereka, di era di mana teknologi berubah lebih cepat, pendidikan tinggi seperti tertinggal dua langkah, lho! Penasaran? Simak artikel ini terus, ya!

Sebanyak 16% Gen Z menganggap kampus gagal membekali mereka dengan skill kekinian termasuk di bidang otomasi dan AI, yang ironisnya justru jadi kebutuhan dasar industri.

Selain itu, elevansi kurikulum ke pasar kerja (24%) dan minimnya pengalaman praktis (28%) bagi gen Z membuat kampus makin tampak seperti museum intelektual. Sementara dunia kerja tidak lagi menanyakan nilai IPK, tapi seberapa cepat kamu bisa kerja dengan deadline.

Baca Juga: Gelar Demo, Ribuan Driver Ojol Terpantau Penuhi Jalanan Thamrin: Warga Jakarta Sebaiknya Hindari 2 Titik Ini

Di tengah segala keruwetan pilihan, 21% Gen Z sudah mulai dihantui bayang-bayang utang pendidikan. Bahkan sebelum wisuda, mereka sudah dibayang-bayangi beban kredit, lho!

Nah, sebagian lagi (19%) malah sudah atau sedang berencana berwirausaha, mungkin karena sadar satu misi besar; pengusaha kecil lebih mulia daripada jadi kuli berdasi.

Laporan ini bukan sekadar hasil obrolan panas di kolom komentar media sosial, melainkan suara serius dari 14.751 Gen Z dan 8.731 milenial di 44 negara; termasuk 326 Gen Z Indonesia.

Ini bukan sekadar tren, lho! Ini adalah sinyal kuat bahwa sistem pendidikan formal sedang mengalami krisis legitimasi di mata generasi muda.

Kuliah masih penting, tapi bagi banyak orang, menapak jenjang di perguruan tinggi kini menjadi pilihan yang harus dikaji ulang dengan kalkulasi matang. Mereka bukan malas belajar, melainkan semakin tajam dalam membaca realitas dunia yang berubah cepat.

Jika kampus tidak segera berubah, jangan salahkan mereka bila lebih memilih kelas daring dua juta rupiah ketimbang SPP satu semester yang bikin makan Indomie tiap akhir bulan.

Jadi, setelah munculnya survey Deloitte 2025 ini, muncul pertanyaan paling jujur dan relevan untuk para Gen Z di Indonesia; pilih kuliah atau akal sehat? ***