3 Gaya Hidup yang Bikin Mahasiswa Berperilaku Hedonisme, Ternyata Bermula dari Satu Hal Sepele Ini

inNalar.com – Jika dulu mahasiswa identik dengan perjuangan dan idealisme, kini banyak yang lebih sibuk memikirkan diskon di mall ketimbang nilai ujian. Hedonisme di kalangan akademisi muda ini bukan sekadar fenomena, tetapi seolah sudah menjadi ritual wajib bagi gaya hidup mereka.

Nongkrong di kafe mewah dengan harga secangkir kopi setara uang makan seminggu? Wajib! Membeli barang branded hanya demi eksistensi di media sosial? Harus! Karena di era ini, lebih baik kelaparan daripada terlihat tidak up-to-date.

Dengan dalih “self-reward,” mereka rela memborong barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Penasaran? Berikut telah kami rangkum beberapa faktor pendorong munculnya pemikiran hedonisme dalam diri mereka.

Baca Juga: Ada 2 Aturan Tumpang Tindih di Lingkup Pendidikan Tinggi, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat Ingatkan Ini

1. Self-Reward yang Keblabasan

Self-reward, konsep yang seharusnya menjadi bentuk apresiasi atas pencapaian diri, kini berubah menjadi pembenaran untuk menghambur-hamburkan uang.

Bukannya merayakan prestasi besar, gaya hidup mahasiswa zaman sekarang memberi “reward” hanya karena berhasil bangun pagi atau selesai mengerjakan satu paragraf tugas.

Baca Juga: Bab 5 Subbab Kegiatan 2, Kunci Jawaban Soal Bahasa Indonesia kelas 10 SMA Hal. 204 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi

2. Lingkungan Sosial yang Toxic

Mahasiswa yang berasal dari lingkungan elit tentu terbiasa dengan gaya hidup mewah. Namun, yang menarik adalah mereka yang tidak berasal dari kalangan berada, tetapi memaksakan diri agar terlihat sama. Dorongan perilaku hedonisme kemudian muncul dalam benaknya. 

Demi bisa masuk ke circle “sultan,” banyak dari mereka yang akhirnya rela berhutang hanya agar bisa ikut liburan ke Bali atau membeli tas seharga satu semester uang kuliah.

Baca Juga: Bab 6 Berkarya dan Berekspresi Melalui Puisi, Kunci Jawaban Bahasa Indonesia kelas 10 SMA Hlm. 226 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi

3. Media Sosial: Ajang Pamer Tanpa Batas

Tidak cukup hanya merasa bahagia, mahasiswa kini harus memastikan kebahagiaan mereka dilihat oleh orang lain. Kalau beli skincare mahal, harus ada unboxing di Instagram.

Kalau makan di restoran fancy, harus ada foto estetik di TikTok. Karena dalam dunia maya, eksistensi seseorang tidak ditentukan oleh kecerdasan atau prestasi, tetapi oleh jumlah like dan views.

Namun, di tengah merebaknya gelombang hedonisme, muncul tren baru: gaya hidup halal. Namun, apakah ini benar-benar kesadaran baru atau hanya tren sesaat yang dipengaruhi media sosial?

Menurut laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2023, industri halal global diprediksi mencapai USD 2,8 triliun pada 2025.

Baca Juga: Bolehkah Muslim Nonton Mukbang ASMR saat Puasa Ramadhan? Begini Kata Ustadz Wijayanto

Dengan angka sebesar itu, tidak heran jika banyak brand berlomba-lomba menempelkan label “halal” di produk mereka, bahkan untuk barang yang sebenarnya tidak membutuhkan sertifikasi halal.

Di Indonesia, regulasi halal semakin ketat dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Artinya, mahasiswa kini punya satu lagi alasan untuk lebih selektif dalam memilih produk.

Namun, apakah mereka benar-benar peduli atau hanya ikut-ikutan tren agar terlihat lebih bermoral di media sosial?

Baca Juga: 3 Resep Tumisan Sederhana dan Praktis, Menu Buka Puasa Ramadhan Anak Kos Banget, Enak Gak Perlu ke Warteg!

Meskipun gaya hidup halal semakin diminati, realitanya banyak mahasiswa yang masih terjebak dalam dilema antara mengikuti tren halal atau tetap mempertahankan gaya hidup hedonis mereka. Beberapa faktor yang menjadi tantangan utama antara lain:

1. Harga Produk Halal yang Lebih Mahal

Mahasiswa yang mengaku ingin hidup halal sering kali mundur teratur ketika melihat harga produk halal yang lebih tinggi dibandingkan produk biasa. “Aku sih mau hidup halal, tapi kalau harga lipstiknya dua kali lipat ya mikir dulu.” kata sebagian dari mereka.

2. Tekanan Sosial yang Masih Kuat

Ketika berada di lingkungan yang mayoritas masih mengutamakan gengsi, mempertahankan gaya hidup halal bisa menjadi tantangan tersendiri.

Coba saja bayangkan: semua teman satu geng memakai produk high-end, sementara kamu satu-satunya yang pakai brand lokal dengan label halal. Apakah kamu siap menerima tatapan penuh iba dari mereka?

3. Kurangnya Edukasi Tentang Halal di Luar Makanan

Banyak mahasiswa yang mengira halal hanya berlaku untuk makanan. Padahal, halal juga mencakup kosmetik, keuangan, bahkan fashion.

Sayangnya, tidak banyak yang benar-benar memahami aspek ini. Akibatnya, banyak yang masih asal-asalan dalam memilih produk.

Apakah mahasiswa akan terus terjebak dalam budaya hedonisme atau mulai beralih ke gaya hidup yang lebih sehat dan sesuai nilai-nilai halal? Jawabannya ada pada diri masing-masing.

Namun satu hal yang pasti, dunia perkuliahan bukan hanya tentang pamer outfit mahal atau berapa banyak tempat fancy yang sudah dikunjungi.

Mahasiswa, yang katanya “agent of change” seharusnya lebih bijak dalam memilih mana yang benar-benar kebutuhan dan mana yang hanya sekadar tuntutan sosial.

Jadi, pertanyaannya sekarang: mau tetap jadi korban tren atau mulai berpikir untuk masa depan? Keputusan ada di tanganmu! ***