2025 Produksi Nikel Bakal Dipangkas Gegara Harga Merosot, Ternyata Ini Penyebabnya

inNalar.com – Industri tambang nikel nampak kurang baik di tahun baru ini. Pada akhir 2024 kemarin, produksi nikel telah berada di rekor terendah dalam empat tahun terakhir.

Dilansir dari Blooomberg, Indonesia saat ini sedang mempertimbangkan pemangkasan kuota penambangan atau produksi nikel dalam jumlah besar. Hal ini dilakukan sebagai upaya mendongkrak harga merosot.

Diduga turunnya harga nikel juga dipengaruhi oleh sentimen proyeksi pemangkasan suku bunga lebih tajam oleh Federal Reserve (The Fed) pada 2025. Pada 20 Desember 2024, nikel diperdagangkan di US$15.356 per ton.

Baca Juga: Dulunya Lumbung Padi, Pesantren Unik di Rembang Ini Dibangun Bernuansa Budaya Tionghoa dan Jawa

Indonesia yang menjadi salah satu produsen utama nikel dunia ini tengah berupaya menurunkan jumlah bijih nikel yang diizinkan untuk ditambang pada 2025, yakni menjadi 150 juta ton. Tentu penurunan ini cukup tajam dibandingkan 2024 yang mencapai 272 juta ton.

Para penambang nikel juga mengharapkan pemangkasan produksi nikel oleh pemerintah dapat menjadi katalis untuk memperbaiki harga komoditas logam ini, mengingat harganya yang terus turun dalam dua tahun terakhir.

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menyatakan sepakat apabila pemerintah hendak memangkas kuota produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).

Baca Juga: Pendirinya Viral Bisa Bicara dengan Semut, Pondok Pesantren di Surabaya Ini Luasnya Cuma 22 x 2 Meter Persegi

Namun tentu dengan catatan, yakni volume pembatasannya tidak terlalu besar. Walaupun telah merencanakan pembatasan, masalah oversupply nikel pun masih akan terjadi di 2025.

Terdapat 3 sentimen yang menjadi faktor penyebab menurunnya harga nikel.

Institute for Development of Economics and Finance atau Indef menyampaikan terdapat 3 faktor penyebab yang mempengaruhi harga nikel di Indonesia.

Baca Juga: Kisah Unik Pesantren Metal di Cilacap yang Ternyata Dihuni Mantan Preman Jawa Tengah

Imaduddin Abdullah, Direktur Kolaborasi Internasional Indef mengatakan, faktor penyebab yang pertama adalah masalah struktural yakni adanya ketidaksimbangan pasar karena telah terjadi oversupply nikel kelas 1 (battery grade) di tingkat global.

Kedua, permintaan nikel dari sektor industri baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) semakin melemah. Salah satu faktor penyebabnya yakni karena adanya pergeseran teknologi ke LFP atau Lithium Ferro Phosphate.

Kemudian, permintaan produksi nikel untuk industri baja nirkarat atau stainless steel dari China sebagai negara importir terbesar nikel RI diproyeksikan juga melambat

Faktor yang terakhir yakni indikator harga nikel yang semakin mengindikasikan adanya tren pelemahan dengan harga di LME.

Imaduddin juga menekankan bahwa 3 hal tersebut yang membuat harga nikel diperkirakan akan stagnan di 2025.

Namun, pandangan yang berbeda diutarakan oleh Dewan Penasihat APNI, Djoko Widajatno. Ia menyampaikan bahwa pemangkasan produksi nikel tidak menjadi satu-satunya solusi untuk mengendalikan harga nikel.

Pemerintah harus tetap menyelaraskan bagaimana kondisi permintaan domestik dengan ekspor.

Djoko juga menambahkan, beberapa negara produsen nikel seperti Filipina, juga dapat menjadi pesaing sekaligus penentu harga di pasar global. Tentu dengan pengendalian produksi nikel yang tepat, negara dapat tetap memberikan harga yang kompetitif.***