

inNalar.com – Kekayaan potensi alam lahan Kalimantan Selatan telah dipertegas menjadi wilayah konsesi ‘harta karun’ menjanjikan.
Setidaknya 1.927.586 hektare lahan Kalimantan Selatan telah ‘disulap’ alias dirubah statusnya menjadi wilayah konsesi, merujuk pada data Walhi Kalsel 2024.
Bisa dibayangkan, wilayah Kalimantan Selatan yang luasnya berkisar 3.874.423 hektare. Lantas, bagaimana nasib warga Suku Dayak yang hingga kini konsisten menjaga tanah adat mereka?
Namun sebelum itu, sebenarnya ‘harta karun’ macam apa yang membuat para penambang alam begitu ambisius mengekstraksi hutan di selatan tanah Borneo ini?
Diungkap melalui YouTube Narasi Newsroom bahwa dari total konsesi seluas 1,93 juta hektare, terdapat tiga zona penggunaan lahan tersebut.
19,34 persen lahannya merupakan wilayah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
14,96 persen statusnya merupakan wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP).
17,27 persen lahan sisanya berubah menjadi wilayah Hak Guna Usaha (HGU).
Bentang alam yang begitu prospektif di hutan rimbun Kalimantan Selatan ini menjadi magnet berharga bagi sejumlah perusahaan berbasis sumber daya alam.
Baca Juga: Gak Cuma Mistis, Kampung Pasar Setan di Banjarnegara Rupanya Memendam Jejak ‘Harta Karun’ Ini
Lebatnya alam berjuluk ‘Paru-Paru Dunia’ ini telah mengundang perusahaan kayu mengeksploitasi hutan ini.
Terbukti, kedatangan sebuah perusahaan kayu yang kala itu beroperasi dengan izin SK.HPH No. 174/kpts/um/3/1980 menjadi awal deforestasi ‘hutan keramat’ di wilayah Suku Dayak Pitap.
Sebelum mengulik harta karun alam lainnya di Kalimantan Selatan, siapakah Suku Dayak Pitap ini dan mengapa wilayah tersebut menjadi ‘hutan keramat’ bagi mereka?
Suku Dayak Pitap adalah masyarakat etnis lokal Kalimantan Selatan yang tinggal di dataran Pegunungan Meratus.
Pegunungan Meratus adalah hamparan perbukitan seluas 600 kilometer yang menyambung hingga Kalimantan Timur.
Secara turun-temurun, lahan melapang ini sudah menjadi penghidupan bagi masyarakat adat Suku Dayak Pitap.
Tidak heran apabila mereka menganggap bahwa lahan di areal hutan Meratus, Kalimantan Selatan ini sebagai zona ‘hutan keramat’ mereka.
Tidak hanya soal ego kepemilikan lahan, tetapi masyarakat Dayak Pitap juga secara konsisten menjadi penjaga alam hutan penghasil nafas dunia ini.
Bukan tanpa alasan bagi mereka menolak deforestasi perusahaan kayu.
Pasalnya, wabah diare pada tahun 1987 yang menelan 17 warga mereka akhirnya membuka mata banyak pihak.
Air Sungai Pitap tercemar yang membuat kualitas hidup warga lokal memburuk itulah gambaran imbas deforestasi di daerah hulu.
Perusahaan kayu tersebut hengkang dari ‘hutan keramat’ Kalimantan Selatan, datang kembali dua perusahaan kayu lainnya mengisi kekosongan konsesi sebelumnya.
Perkebunan sawit seluas 1000 hektare pun menjadi konsesi sebuah perusahaan kelapa sawit, meski hanya berselang setahun sejak tahun 2000 pihaknya hengkang dari tanah tersebut.
Hal yang tidak kalah menariknya lagi adalah kekayaan alam ‘Hutan Keramat’ di area Suku Dayak Pitap ini sampai membuat perusahaan Korea Utara meliriknya.
Investor dari Korea Utara ini bekerjasama dengan perusahaan pemilik konsesi 990 hektare di lereng Hauk Laki dan Hauk Bini.
Dari seluruh gempuran penambangan alam, uniknya masyarakat adat Dayak Pitap tetap konsisten dan kokoh melindungi alam mereka.
“Tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun karena di situ ada budaya kami,” tutur Murdi, salah satu tokoh adat Dayak Pitam, mengutip dari YouTube Narasi Newsroom.***