

inNalar.com – Sebuah kampung di Provinsi Jawa Barat ini menarik perhatian banyak orang, termasuk para peneliti.
Pasalnya, kampung yang berjarak 13 kilometer dari Kota Bandung, Jawa Barat ini ternyata memiliki kebiasaan unik turun-temurun sejak tahun 1924.
Diketahui penduduk kampung yang berada di daerah Cimahi, Jawa Barat ini ternyata tidak pernah mengonsumsi nasi sejak mereka lahir.
Menurut hasil penelitian etnografi yang dilakukan pada masyarakat adat kampung di pelosok Jawa Barat ini memang ditemukan awal mula kebiasaan unik ini berasal dari kondisi ekonomi yang sulit.
Tepatnya pada tahun 1918, kesulitan ekonomi yang melanda penduduk kampung di Cimahi, Jawa Barat ini diperparah dengan kondisi persawahan yang mengering kala itu.
Upaya mengganti pertanian padi menjadi singkong ternyata berhasil membalikkan keadaan sulit kala itu.
Sehingga perjuangan warga kampung ini untuk memerdekakan kampungnya dari kesulitan tersebut pada akhirnya menjadikan kebiasaan unik ini berlanjut hingga kini.
Kebiasaan unik ini kemudian mulai berkembang menjadi budaya kearifan lokal khas kampung ini.
Bermula dari ruang lingkup keluarga, kebiasaan unik ini kemudian menyebar secara serentak ke seluruh kampung unik di Jawa Barat ini.
Dilansir inNalar.com dari laman cimahikota.go.id, pada tahun 1924, kampung yang dinamakan dengan Cireundeu ini akhirnya mulai mengolah singkong hasil pertanian tersebut menjadi rasi atau beras singkong.
Prosesnya pun diketahui cukup panjang, yakni singkong tersebut melalui proses penggilingan, pengendapan, kemudian disaring menjadi sagu.
Setelah itu, ampas sagunya dilakukan proses pengeringan untuk menjadi bahan makanan pokok warga Kampung Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat.
Uniknya lagi, warga Kampung Cireundeu punya konsep filosofis yang mereka patuhi secara turun-temurun.
Pertama, Leuweung Larangan atau hutan terlarang.
Prinsip ini bermakna bahwa hutan sejatinya tidak diperkenankan untuk ditebang.
Pasalnya, fungsi hutan di sekitar Kampung Cireundeu, Jawa Barat ini adalah untuk menyimpan air yang nantinya dikonsumsi oleh masyarakat desanya.
Kedua, Leuweung Tutupan atau hutan reboisasi.
Prinsip kedua ini bermakna bahwa pada dasarnya hutan tetap bisa diambil manfaatnya.
Namun disyaratkan bagi para warganya untuk menanam ulang kembali, setidaknya luas lahan mencapai 2 atau 3 hektare.
Ketiga, Leuweung Baladahan atau hutan pertanian.
Prinsip ketiga ini bermakna bahwa hutan yang biasanya digunakan sebagai lahan hasil bumi penduduk Kampung Cireundeu, Jawa Barat ini dikhususkan dengan tanaman khusus.
Tanaman khusus tersebut seperti jagung, kacang tanah, singkong, dan umbi-umbian.***